Ladya
Aku
setengah mendorongnya masuk ke dalam rumah. Di luar hawa terlalu menggigit
baginya. Dia benci dingin. Dan demamnya… ya, Tuhan! Sembari meletakkan kopor
dan tasku di ruang tamu, kulirik sekilas termometer yang tergeletak di meja. Great. Empat puluh derajat. Segera kutuntun
langkahnya menuju ke kamar dan kuletakkan dia dengan lembut di tempat tidurnya.
Aku berniat merebahkannya, namun dia menggeliat menahanku.
“No…” tolaknya
sambil mempererat pelukannya padaku.
Okay, kini aku tidak
punya pilihan lain selain ikut berbaring di sisinya. Kutanggalkan long coat yang sedari tadi membungkus
tubuhku dan kurebahkan diriku di pembaringannya. Dia bergelung lemah di sisiku
dan menggosokkan ujung hidungnya dengan manja di lenganku. Aku tersenyum, namun
tetap mengawasinya dengan cemas.
“Udah berapa hari demamnya, Mas?” Tanyaku sambil membelai rambutnya.
Dia
hanya membuka matanya sebentar, kemudian menutupnya lagi dengan malas.
“Empat hari.” Jawabnya dengan
mata terpejam.
“Udah ke dokter?” Tanyaku lagi.
Kini
dia menggeleng lemah.
“Nggak perlu lagi, Ladya. Dokterku sudah di sini sekarang.”
“Okay.” Gumamku menyerah.
Tidak
ada gunanya berdebat dengan Thara saat ini. Suhu tubuhnya terlalu tinggi. Aku
yakin dia belum sepenuhnya mampu menyerap dengan logis kejadian-kejadian hari
ini. Kedatanganku masih seperti mimpi baginya. Diam-diam kuperhatikan paras
indahnya. Ya, dia begitu indah. Walaupun kini gurat kesedihan tampak
mendominasi wajahnya.
Kubelai
lembut rambutnya yang kini sedikit terlalu panjang dan kudaratkan kecupan
ringan di dahinya. Thara masih memejamkan matanya, namun aku melihat senyumnya
kembali terulas. Kupertahankan belaian di rambutnya hingga kudengar tarikan
nafasnya yang semakin teratur. Thara selalu mudah tertidur bila kubelai rambutnya.
Kukecup sekali lagi dahinya yang terasa terlalu panas di bibirku, dan kutunggu
beberapa saat sebelum beranjak dari sisinya.
Setelah
menutup pintu kamarnya dengan sangat hati-hati, kuraih tasku yang masih
tergeletak di sofa ruang tamu. Dengan cepat kuaktifkan sebuah nomor lokal dan
membuat sebuah panggilan yang dijawab pada dering pertama.
“Mas Al,” sapaku singkat.
“Hai, sudah sampai, Non? Kok baru ngabarin? Mas Al coba telepon Mas Thara juga nggak diangkat dari tadi.” Suara Alpha membuat air mataku kembali
merebak.
Mereka
sangat mirip. Bagaimana tidak? Kedua kakakku ini kembar identik. Kebanyakan
orang akan sulit membedakan mereka satu dengan yang lain. Terkadang akupun
demikian. Satu-satunya hal yang membuatku dapat membedakan mereka hanyalah perasaanku
terhadap mereka. Aku sendiri masih tidak mengerti. Aku mampu menyayangi Alpha
seperti selayaknya seorang adik menyayangi kakaknya. Tapi Thara? Sampai detik
ini aku masih mencintainya sebagai seorang pria. Hati kecilku bahkan masih menyangkal
kenyataan bahwa dia kakak kandungku.
“Non?” Suara Alpha kembali
menyadarkanku.
“Mas Al... maaf ya, baru ngabarin.”
“It’s okay,
pesawatnya delay ya?”
“Pesawatnya on time,
Mas. Tapi Mas Thara demam tinggi…” dan tanpa bisa kutahan, air mataku pun
kembali mengalir.
Alpha tahu perasaan yang
terjalin diantara kami – aku dan Thara. Itu jauh berbeda dari perasaanku
terhadapnya. Alpha pulalah yang selama ini berperan besar, menyembunyikan
kenyataan tersebut dari ayah kami. Dialah yang membuat semua kerumitan ini terlihat
wajar di hadapan Beliau.
“Non… sssttt… tenang dulu,
tenang dulu…”
“..empat puluh derajat, Mas…”
isakku lagi.
“..iya, iya, tapi kamu tenang
dulu ya? Kamu baru sampe lho, Non.
Thara udah ke dokter belum?”
“Belum.”
“Okay, sebentar lagi Mas Alpha telepon temennya Mas Alpha. Dia
dokter di Jogja. Nanti Mas Alpha minta tolong biar dia dateng ke rumah, jadi kalian nggak
perlu keluar rumah.” Suara Alpha yang tenang dan sikapnya yang selalu
terkoordinasi mulai mempengaruhiku. “Sekarang kamu tenang dulu ya, Non? Udah makan belum?”
“Belum.” Jawabku lagi.
“Di rumah ada makanan?” tanya
Alpha, kini nada prihatin mulai terdengar jelas dari suaranya.
Aku
segera beranjak ke ruang makan. Meja makan tampak bersih, tanpa barang apapun
di atasnya.
Bahkan alas
makan? Really, Thara?
Aku segera
beralih ke lemari es dan memeriksa isinya. Kini aku benar-benar tercekat.
Kurasakan denyutan hebat melanda dadaku.
Kapan
dia makan terakhir kali?
“Nggak ada apa-apa, Mas.” Jawabku, masih dengan nada tercekat.
“Okay.” Kudengar desah berat Alpha di seberang sana, namun kakakku
itu berusaha menguasai perasaannya. “Ladya, Sayang, sekarang kamu delivery sesuatu ya? Terus cepetan makan. ”
Aku
hanya mampu mengangguk karena kini air mataku kembali mengalir. Batinku merasa
begitu lelah dengan rasa bersalah. Namun aku tidak bisa menyerah dengan
ketidakwarasan Thara. Bagaimanapun, akulah yang telah melukainya hingga dia
seperti ini.
Setelah
hening yang cukup lama, suara Alpha kembali menyadarkanku.
“Kamu lelah, Non. Mas tahu. Sekarang
kamu harus segera makan, terus istirahat. Okay?
Temenin Thara. Jujur, aku pengen banget ke sana sekarang, aku khawatir
sama kalian berdua… tapi aku tahu kehadiranku di sana tidak tepat untuk saat
ini. Kalian butuh waktu berdua, dan aku menghargai itu. Take your time, Lad. Telepon aku kalau kalian butuh apa-apa. Okay?”
“Okay, Mas.” Kataku dengan lebih bulat. Kuseka air mata yang
bersimbah di pipiku, berharap ketegaran Alpha menular padaku.
“Yang penting sekarang kalian
istirahat. Terutama kamu... Mas nggak
mau kamu mikir yang aneh-aneh dulu
malam ini. Okay?”
“Okay.” Jawabku lagi.
Mungkin
benar kata Alpha. Mungkin memang saat ini aku masih jet lag. Thara pun masih berjuang melawan demamnya. Kami belum bisa
berpikir jernih, setidaknya untuk malam ini. Mungkin semuanya akan terlihat
lebih baik besok pagi. Ya, semoga saja.
“Love you, Lad.” Kata
Alpha dengan nada sayang.
“Love you too, Mas.” Balasku.
“Bienvenue a Indonesie.” Tambahnya lagi, kini dalam Bahasa Perancis
yang logatnya terdengar janggal di telingaku.
Mau
tidak mau aku tersenyum kecil mendengar usahanya.
“Merci.”
***
Aku
baru saja menyelesaikan pesanan makan malam kami di telepon, ketika kudengar
erangan menyeramkan itu.
Thara.
Aku
setengah berlari ke kamarnya dan mendapatinya mengerang, memanggil namaku
dengan putus asa dalam tidurnya. Wajahnya tampak begitu sengsara saat itu.
Dengan cepat kurengkuh tubuhnya, dan kuguncang sebisaku supaya dia terbangun.
“Thara, Thara…” Panggilku.
Thara membuka matanya dan membeliak
menatapku. Dalam kondisi normal, aku seharusnya takut melihatnya membeliak
seperti itu. Namun kini yang dapat kulakukan hanyalah kembali menitikkan air
mata. Kini terjawablah sudah pertanyaanku…
Seburuk inilah
malam-malamnya tanpaku.
“Ladya…” katanya terengah.
“Ssshhh, it’s okay, it’s okay… kamu mimpi buruk.” Bisikku berusaha
menenangkannya, diantara usahaku menenangkan perasaanku sendiri.
No. Aku tidak
boleh memikirkan ini terlalu dalam. Tidak malam ini. Tidak sebelum aku beristirahat.
Tidak sebelum demamnya mereda. Not now, Ladya. Please.
“Ladya…” panggilnya lagi.
Kulonggarkan
pelukanku di tubuhnya, memberi kami ruang untuk saling menatap. Kuusap lembut jurai
rambutnya yang kini basah oleh keringat. Berusaha tersenyum di tengah tangis,
dua bulir bening itupun akhirnya menetes dari kedua mataku, dan jatuh tepat di
kedua matanya. Dia mengerjap beberapa kali karena tetesan itu.
“Is that wet?” tanyaku.
Thara mengangguk linglung.
“It’s not your dream then.” Kataku kehabisan cara untuk meyakinkannya.
Kurengkuh
tubuhnya sekali lagi dan kudekap kepalanya di dadaku. Membiarkan telinganya
menangkap detak jantungku. Menghujankan kecupan di rambutnya yang semakin kusut
karena air mataku. Berharap jerit batinku menembus alam bawah sadarnya…
Aku di sini,
Thara. Aku di sini. Aku sungguh-sungguh berada di sini.
***