Kamis, 30 Januari 2014

Dream or Reality II


Ladya
Aku setengah mendorongnya masuk ke dalam rumah. Di luar hawa terlalu menggigit baginya. Dia benci dingin. Dan demamnya… ya, Tuhan! Sembari meletakkan kopor dan tasku di ruang tamu, kulirik sekilas termometer yang tergeletak di meja. Great. Empat puluh derajat. Segera kutuntun langkahnya menuju ke kamar dan kuletakkan dia dengan lembut di tempat tidurnya. Aku berniat merebahkannya, namun dia menggeliat menahanku.
No…” tolaknya sambil mempererat pelukannya padaku.
Okay, kini aku tidak punya pilihan lain selain ikut berbaring di sisinya. Kutanggalkan long coat yang sedari tadi membungkus tubuhku dan kurebahkan diriku di pembaringannya. Dia bergelung lemah di sisiku dan menggosokkan ujung hidungnya dengan manja di lenganku. Aku tersenyum, namun tetap mengawasinya dengan cemas.
                Udah berapa hari demamnya, Mas?” Tanyaku sambil membelai rambutnya.
Dia hanya membuka matanya sebentar, kemudian menutupnya lagi dengan malas.
                “Empat hari.” Jawabnya dengan mata terpejam.
                Udah ke dokter?” Tanyaku lagi.
Kini dia menggeleng lemah.
                Nggak perlu lagi, Ladya. Dokterku sudah di sini sekarang.”
                Okay.” Gumamku menyerah.
Tidak ada gunanya berdebat dengan Thara saat ini. Suhu tubuhnya terlalu tinggi. Aku yakin dia belum sepenuhnya mampu menyerap dengan logis kejadian-kejadian hari ini. Kedatanganku masih seperti mimpi baginya. Diam-diam kuperhatikan paras indahnya. Ya, dia begitu indah. Walaupun kini gurat kesedihan tampak mendominasi wajahnya.
Kubelai lembut rambutnya yang kini sedikit terlalu panjang dan kudaratkan kecupan ringan di dahinya. Thara masih memejamkan matanya, namun aku melihat senyumnya kembali terulas. Kupertahankan belaian di rambutnya hingga kudengar tarikan nafasnya yang semakin teratur. Thara selalu mudah tertidur bila kubelai rambutnya. Kukecup sekali lagi dahinya yang terasa terlalu panas di bibirku, dan kutunggu beberapa saat sebelum beranjak dari sisinya.
Setelah menutup pintu kamarnya dengan sangat hati-hati, kuraih tasku yang masih tergeletak di sofa ruang tamu. Dengan cepat kuaktifkan sebuah nomor lokal dan membuat sebuah panggilan yang dijawab pada dering pertama.
                “Mas Al,” sapaku singkat.
           “Hai, sudah sampai, Non? Kok baru ngabarin? Mas Al coba telepon Mas Thara juga nggak diangkat dari tadi.” Suara Alpha membuat air mataku kembali merebak.
Mereka sangat mirip. Bagaimana tidak? Kedua kakakku ini kembar identik. Kebanyakan orang akan sulit membedakan mereka satu dengan yang lain. Terkadang akupun demikian. Satu-satunya hal yang membuatku dapat membedakan mereka hanyalah perasaanku terhadap mereka. Aku sendiri masih tidak mengerti. Aku mampu menyayangi Alpha seperti selayaknya seorang adik menyayangi kakaknya. Tapi Thara? Sampai detik ini aku masih mencintainya sebagai seorang pria. Hati kecilku bahkan masih menyangkal kenyataan bahwa dia kakak kandungku.
                “Non?” Suara Alpha kembali menyadarkanku.
                “Mas Al... maaf ya, baru ngabarin.”
    “It’s okay, pesawatnya delay ya?”
    “Pesawatnya on time, Mas. Tapi Mas Thara demam tinggi…” dan tanpa bisa kutahan, air mataku pun kembali mengalir.
Alpha tahu perasaan yang terjalin diantara kami – aku dan Thara. Itu jauh berbeda dari perasaanku terhadapnya. Alpha pulalah yang selama ini berperan besar, menyembunyikan kenyataan tersebut dari ayah kami. Dialah yang membuat semua kerumitan ini terlihat wajar di hadapan Beliau.
                “Non… sssttt… tenang dulu, tenang dulu…”
                “..empat puluh derajat, Mas…” isakku lagi.
                “..iya, iya, tapi kamu tenang dulu ya? Kamu baru sampe lho, Non. Thara udah ke dokter belum?”
                “Belum.”
                Okay, sebentar lagi Mas Alpha telepon temennya Mas Alpha. Dia dokter di Jogja. Nanti Mas Alpha minta tolong biar dia dateng ke rumah, jadi kalian nggak perlu keluar rumah.” Suara Alpha yang tenang dan sikapnya yang selalu terkoordinasi mulai mempengaruhiku. “Sekarang kamu tenang dulu ya, Non? Udah makan belum?”
                “Belum.” Jawabku lagi.
                “Di rumah ada makanan?” tanya Alpha, kini nada prihatin mulai terdengar jelas dari suaranya.
Aku segera beranjak ke ruang makan. Meja makan tampak bersih, tanpa barang apapun di atasnya.
Bahkan alas makan? Really, Thara?
Aku segera beralih ke lemari es dan memeriksa isinya. Kini aku benar-benar tercekat. Kurasakan denyutan hebat melanda dadaku.
                Kapan dia  makan terakhir kali?
                Nggak ada apa-apa, Mas.” Jawabku, masih dengan nada tercekat.
             Okay.” Kudengar desah berat Alpha di seberang sana, namun kakakku itu berusaha menguasai perasaannya. “Ladya, Sayang, sekarang kamu delivery sesuatu ya? Terus cepetan makan. ”
Aku hanya mampu mengangguk karena kini air mataku kembali mengalir. Batinku merasa begitu lelah dengan rasa bersalah. Namun aku tidak bisa menyerah dengan ketidakwarasan Thara. Bagaimanapun, akulah yang telah melukainya hingga dia seperti ini.
Setelah hening yang cukup lama, suara Alpha kembali menyadarkanku.
                “Kamu lelah, Non. Mas tahu. Sekarang kamu harus segera makan, terus istirahat. Okay? Temenin Thara. Jujur, aku pengen banget ke sana sekarang, aku khawatir sama kalian berdua… tapi aku tahu kehadiranku di sana tidak tepat untuk saat ini. Kalian butuh waktu berdua, dan aku menghargai itu. Take your time, Lad. Telepon aku kalau kalian butuh apa-apa. Okay?”
                Okay, Mas.” Kataku dengan lebih bulat. Kuseka air mata yang bersimbah di pipiku, berharap ketegaran Alpha menular padaku.
            “Yang penting sekarang kalian istirahat. Terutama kamu... Mas nggak mau kamu mikir yang aneh-aneh dulu malam ini. Okay?”
                Okay.” Jawabku lagi.
Mungkin benar kata Alpha. Mungkin memang saat ini aku masih jet lag. Thara pun masih berjuang melawan demamnya. Kami belum bisa berpikir jernih, setidaknya untuk malam ini. Mungkin semuanya akan terlihat lebih baik besok pagi. Ya, semoga saja.
   “Love you, Lad.” Kata Alpha dengan nada sayang.
                Love you too, Mas.” Balasku.
            Bienvenue a Indonesie.” Tambahnya lagi, kini dalam Bahasa Perancis yang logatnya terdengar janggal di telingaku.
Mau tidak mau aku tersenyum kecil mendengar usahanya.
                Merci.”

***

Aku baru saja menyelesaikan pesanan makan malam kami di telepon, ketika kudengar erangan menyeramkan itu.
Thara.
Aku setengah berlari ke kamarnya dan mendapatinya mengerang, memanggil namaku dengan putus asa dalam tidurnya. Wajahnya tampak begitu sengsara saat itu. Dengan cepat kurengkuh tubuhnya, dan kuguncang sebisaku supaya dia terbangun.
                “Thara, Thara…” Panggilku.
Thara membuka matanya dan membeliak menatapku. Dalam kondisi normal, aku seharusnya takut melihatnya membeliak seperti itu. Namun kini yang dapat kulakukan hanyalah kembali menitikkan air mata. Kini terjawablah sudah pertanyaanku…
Seburuk inilah malam-malamnya tanpaku.
                “Ladya…” katanya terengah.
              “Ssshhh, it’s okay, it’s okay… kamu mimpi buruk.” Bisikku berusaha menenangkannya, diantara usahaku menenangkan perasaanku sendiri.
No. Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu dalam. Tidak malam ini. Tidak sebelum aku beristirahat. Tidak sebelum demamnya mereda. Not now, Ladya. Please.
                “Ladya…” panggilnya lagi.
Kulonggarkan pelukanku di tubuhnya, memberi kami ruang untuk saling menatap. Kuusap lembut jurai rambutnya yang kini basah oleh keringat. Berusaha tersenyum di tengah tangis, dua bulir bening itupun akhirnya menetes dari kedua mataku, dan jatuh tepat di kedua matanya. Dia mengerjap beberapa kali karena tetesan itu.
                Is that wet?” tanyaku.
                Thara mengangguk linglung.
                It’s not your dream then.” Kataku kehabisan cara untuk meyakinkannya.
Kurengkuh tubuhnya sekali lagi dan kudekap kepalanya di dadaku. Membiarkan telinganya menangkap detak jantungku. Menghujankan kecupan di rambutnya yang semakin kusut karena air mataku. Berharap jerit batinku menembus alam bawah sadarnya…
Aku di sini, Thara. Aku di sini. Aku sungguh-sungguh berada di sini.

***

Senin, 06 Januari 2014

Dream or Reality


Thara

Aku mendapati diriku tertidur di sofa ruang tengah. Sudah lama aku tidak pernah tidur di kamarku sendiri. Bukan karena ruangan ini lebih luas atau nyaman, melainkan karena aku selalu merasa ingin menunggu. Kedatangannya, yang selalu kurindu di setiap pagi dan malamku. Beruntung dia akan benar-benar pulang hari ini. Setelah penantianku yang hanya berhenti pada harap semata selama ini.

Sebelumnya dia sudah memberitahuku bahwa dia akan pulang ke Indonesia akhir tahun ini. Tapi sialnya dia tahu kalau aku sedang sakit. Maka alih-alih di Jakarta, dia memutuskan untuk mendarat di kota ini. Dia juga berkeras tidak mau dijemput di bandara, karena menurutnya kondisiku kurang memungkinkan. Mulanya aku memaksa, tetapi dia mulai mengancam “kembali ke Paris hari ini juga” jika aku tetap seperti itu. Begitulah, sifatnya tidak berubah. Tetap keras kepala. Namun dalam hati aku senang. Sepertinya Eropa tidak membuatnya banyak berubah.  

Dengan gerakan lambat kusentuh keningku. Masih panas. Sudah empat hari demamku tidak turun. Hujan tanpa henti belakangan ini benar-benar sukses merobohkan staminaku ke titik nol. Bukannya membenci hujan. Aku justru tergila-gila setengah mati pada rinainya. Namun aku benci cuaca dingin yang menyertainya. Mungkin karena itu pulalah aku selalu merindukan dia. Rindu hangat tubuhnya. Nafasnya. Tatapnya. Tawanya. Batinku pasti sudah menjerit merindunya, andai dia bisa.

Kupandangi awan mendung dari balik jendela yang kembali menjatuhkan titik-titik hujan. Dalam hati aku bertanya-tanya seperti apakah dia sekarang, setelah sekian lama. Dia mencintai Paris, seperti aku mencintai hujan. Kota itu pasti cocok dengannya. Mereka sama-sama cantik. Indah. Aku mulai membayangkan rambut hitamnya. Seperti apa dia menatanya sekarang? Semoga dia tetap membiarkannya panjang. Aku suka dia berambut panjang.

Ah, sepertinya demam ini mulai membuatku tidak waras.

Kutarik termometer digital yang beberapa menit lalu kuselipkan di bawah lidahku dan mulai membacanya. Empat puluh derajat? Yang benar saja! Bahkan demam lebih dari empat hari inipun adalah hal baru bagiku. Dengan hati-hati kutegakkan tubuhku. Kuletakkan termometer itu di meja ruang tamu. Beberapa detik setelahnya kusadari diriku hanya terdiam, termangu menatap pintu.

Seharusnya pesawatnya sudah mendarat satu jam yang lalu.

Diantara derai hujan, samar-samar kudengar gerendel pintu pagar dibuka. Tidak banyak orang yang bertamu ke rumah ini. Mungkinkah itu dia? Dengan hati-hati aku berdiri, melawan limbungku sendiri. Kuseret langkahku hingga aku berhasil meraih handle pintu. Suara itu… ya, itu suaranya… Kutekan tuas itu perlahan, dan tiba-tiba saja hatiku merasa kecut. Aku takut kalau-kalau orang ini hanyalah tamu biasa, bukan dirinya. Ini akan berakhir seperti mimpi yang selalu berulang di setiap malamku.

Biar saja. Walaupun ini hanya mimpi, aku tetap menginginkannya. Aku ingin sekali memeluknya.

Kubuka pintu di hadapanku perlahan-lahan, nyaris tanpa suara. Sosoknya berdiri memunggungiku. Aku tahu aku harus meraihnya sebelum aku terbangun. Aku harus memeluknya terlebih dahulu. Kini sosoknya hampir berbalik menghadapku. Aku tidak boleh terbangun. Tidak! Tidak! Jangan dulu. Ya… aku mendapatkannya. Kini aku boleh bangun, aku sudah mendekapnya… aku sudah mendekapnya… aku merasakan air mataku. Aku pasti menangis lagi dalam tidurku. Aku tidak peduli.

Beberapa detik berselang ia menatapku. Tuhan begitu baik malam ini, memperpanjang mimpiku hingga ke tahap ini.

You’re here.” Bisikku.
Dia mengangguk dan seketika itu bergulirlah air di sudut matanya.
Oui.” Katanya dengan suara serak.
Beberapa detik sesudahnya ia menautkan keningnya ke keningku dan membiarkan air mata kami berjatuhan. Aku menyerah. Inilah dia. Ladyaku. Aku – pada akhirnya – harus menyerah pada ketidakwarasanku.
It’s like a dream, Ladya.” Kataku pedih.
Dia menyusupkan jemarinya ke rambutku dan menariknya lembut. Aku selalu menyukai itu.
It’s me.” Katanya berusaha meyakinkanku.
Call my name.” Pintaku dengan nada putus asa.
Untuk beberapa saat dia hanya mampu menatap mataku. Aku tahu dia membaca semua kesakitan di jiwaku. Aku tahu batinnya pun menjerit mendapatiku dalam keadaan seperti itu. Matanya berkilau dalam kesedihan. Namun dia mendekapku kembali dengan segala ketabahannya dan melantunkan namaku bagai sebuah doa.
 It’s me, Thara. I’m here.
***

Jumat, 27 Desember 2013

Rain and Tears


Pesawat yang kutumpangi mendarat dengan mulus di landasan yang basah. Rintik-rintik hujan masih menerpa kaca jendela pesawat yang kebetulan berada tepat di sisiku. Aku menarik nafas panjang, berusaha mencium aromanya. Aroma hujan tropis. Tetapi tentu saja belum bisa. Aromanya masih terhalang plat alumunium raksasa ini. Aku menekankan kepalaku ke sandaran, duduk lebih tegak daripada biasanya. Aku bisa merasakan detak jantungku menjadi lebih cepat. Nafasku semakin memburu. Menggigit bibir bawahku, aku tersadar.
Mungkin karena aku ada di kota ini lagi. Tinggal beberapa menit lagi darinya.
Hiruk-pikuk segera terjadi ketika pesawat sudah benar-benar berhenti. Semua orang meraih bagasinya, menenteng bawaan menuju pintu pesawat yang sudah dibuka. Aku menyandang tote bag-ku dan mengikuti langkah orang-orang tersebut. Setelah menganggukkan kepala kepada para awak kabin yang berbaris melepas kami, aku pun segera mendapatkan apa yang sedari tadi kuinginkan. Aroma hujan menyergapku. Aku menikmatinya dengan sendu. Titik-titik air ini ternyata begitu kurindu. Air. Bukan bunga es.
Dengan sabar aku menunggu bagasiku. Tidak banyak. Hanya beberapa pakaian di dalam sebuah kopor mungil. Eropa mengajariku efektivitas dan efisiensi dalam segala hal. Termasuk ketika bepergian. Tidak ada oleh-oleh. Tidak ada kopor kedua, apalagi ketiga dan seterusnya. Tidak ada kelebihan bagasi. Tidak ada biaya tambahan. Praktis. Lagipula aku bukan mau berlibur di tempat ini. Ini hanya perjalanan singkat demi sebuah misi. Menuntaskan kerinduan. Menuntaskan kesakitan. Walaupun efeknya hanya sementara. Hanya meredam. Tidak akan pernah tuntas.
Tanpa banyak menawar aku menaiki taksi yang pertama kujumpai. Supirnya membantuku memasukkan kopor ke dalam bagasi.
                “Hanya ini, Mbak?” Tanyanya.
                “Ya.” Jawabku sambil tersenyum dalam hati. Ah, Indonesia.
Aku menyebutkan tujuanku dan disambut oleh anggukan mengerti. Sepanjang perjalanan, supir taksi yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Diman itu mengajakku bercakap-cakap. Aku menyambut obrolannya dan merasa begitu lega, hanya karena aku bisa berbicara dengan bahasa ibuku lagi. Pak Diman cukup antusias mendengar bahwa aku bersekolah di Paris. Ia menanyakan banyak hal tentang kuliahku, kotaku… dan akhirnya tibalah pada pertanyaan itu.
                “Terus ini ke Jogja dalam rangka apa, Mbak? Lagi libur, kuliahnya?”
Untuk beberapa saat aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Belum sempat aku menjawab, Pak Diman sudah menambah pertanyaannya.
                “Mbak asli Jogja ya? Pulang kampung ini, ceritanya?”
Aku tertawa kecil menanggapi keramahannya. Kalau saja ceritaku sesingkat itu, Pak Diman. Aku akan menceritakannya di sini, saat ini.
                “Iya, saya sedang liburan. Tapi sebenarnya rumah ayah saya di Jakarta, Pak. Saya ke Jogja mau menemui kakak saya.”
                “Wooo.. kakaknya di Jogja? Kuliah juga, Mbak? Apa kerja? Kakak kandung atau.. wooo, saya tahu! Mesti ini kakak ketemu gede tho?”
Lagi-lagi aku tertawa mendengar tebakan sok tahu ala Pak Diman. Keramahannya menyentuhku, walaupun seharusnya batinku sakit mendengar tebakan itu. Kakak atau adik ketemu gede itu adalah ungkapan dalam Bahasa Jawa. Kakak atau adik yang bertemu setelah dewasa, atau secara harafiah berarti pacar. Dan yang menyakitkan adalah, tebakan Pak Diman sepenuhnya benar. Aku jatuh cinta. Pada kakak kandungku. Bukan salahku. Bukan juga salahnya. Baru dua tahun yang lalu aku tahu, bahwa aku punya saudara kandung. Satu tahun setelah kami saling jatuh cinta.
Kusadari lirikan ingin tahu Pak Diman dari kaca spion.
                “Kakak kandung, Pak. Dia sedang sakit. Sendirian di Jogja. Ayah dan kakak saya yang satu lagi ada di Jakarta. Jadi saya menemani dulu di Jogja. Biar ada yang merawat.”
Karena dialah yang paling kurindukan di setiap pagi dan malamku. Dialah yang selalu membuatku menangis dalam ratap rindu di atas tempat tidurku. Dialah yang selalu kuingat di setiap helai nafasku. Aku rindu ayahku. Aku rindu kakak sulungku. Tapi dialah rumah bagi hatiku.Tempat di mana aku selalu ingin pulang dan melepas rindu.
Kukerjapkan mataku beberapa kali, menahan air mata yang hampir meruap. Pak Diman membelokkan taksinya ke sebuah jalan kecil dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mungil. Cat temboknya putih bersih, dengan kusen-kusen jendela yang peliturnya masih mengilat. Dia pernah bercerita padaku, dia berencana mengecat ulang rumah. Ternyata dia benar-benar mewujudkannya. Hasil karyanya kini ada di hadapanku. Tembok putih yang dingin. Kusen-kusen coklat yang membuatnya lebih hangat. Sederhana. Dan sepi.
Aku sudah sibuk mengeksekusi gerendel pagar, ketika Pak Diman meneduhkanku dengan sebuah payung yang sudah terbuka di sebelah tangannya. Tangan yang satunya menjinjing koporku.
Aku benar-benar harus memberinya tip yang layak.
Segera setelah pagar itu terbuka, kami berlari menuju teras rumah. Kubuka tote bag-ku dan mengambil sejumlah uang dari cheque holder-ku.
Walah, gede banget! Uangnya yang pas saja, Mbak.”
Nggak apa-apa, Pak Diman. Untuk Pak Diman ngopi.”
We lha, ini banyak banget tapi, Mbak.”
Nggak apa-apa, Pak. Mohon diterima. Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai di sini.”
“Wooo.. ya sudah, gini saja!” Pak Diman merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar kartu nama. “Ini kartu nama saya. Pak Diman. Kalau Mbak butuh diantar lagi, nomor handphone saya ada di belakangnya.”
Aku membalik kartu nama armada taksi tersebut dan menemukan nomor seluler Pak Diman tertulis dengan spidol hijau. Aku tersenyum menyadari kesahajaan itu dan mengulurkan tanganku.
“Siap, Pak Diman. Kalau ada apa-apa, nanti saya hubungi Pak Diman.”
Pak Diman tersenyum sumringah. Tiba-tiba saja aku ingat bahwa aku belum memperkenalkan diriku.
“Oya, Pak. Nama saya Ladya.”
“Wooo.. Mbak Ladya. Ya, ya, ya... namanya cantik, secantik orangnya.” Puji Pak Diman tanpa nada melecehkan sama sekali.
Aku tersenyum malu.
“Terima kasih, Pak.”
“Ya sudah, Bapak tinggal dulu. Selamat datang di Jogja, di Indonesia. Semoga masnya lekas sembuh.”
Dengan sabar mataku mengikuti kepergian Pak Diman. Walaupun tanganku sebenarnya sudah tak sabar untuk mengetuk pintu di belakangku dan menemukannya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menciumnya. Aku ingin mencumbunya. Aku ingin mencintainya. Dengan sebuah helaan nafas panjang, aku memutar tubuhku.
Perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa aku telah berada dalam dekapannya. Ia membuka pintu, nyaris tanpa suara. Dan kini aku bisa merasakannya. Detak jantungnya yang tidak beraturan. Nafasnya yang memburu. Suhu tubuh yang terlalu hangat karena demamnya. Dan gulir bening yang berpindah dari pipinya ke pipiku. Kutatap matanya yang balas menatapku, dan tak perlu waktu lama bagiku untuk menemukan penderitaannya. Seburuk inikah dia merindukanku? Seburuk inikah setiap pagi dan malamnya? Seburuk inikah, Tuhan?
You’re here.” Bisiknya.
Aku mengangguk tanpa bisa menahan air mataku lagi.
Oui.” Kataku dengan suara serak.
Beberapa detik sesudahnya kami hanya saling menautkan kening dan membiarkan air mata kerinduan kami berjatuhan. Membasuh dendam kami pada jarak dan waktu. Pada keadaan yang membuat kami tidak akan pernah mungkin bersatu.
It’s like a dream, Ladya.” Katanya pedih.
Aku menyusupkan jemariku ke rambutnya dan menariknya lembut.
It’s me.” Kataku meyakinkannya.
Call my name.” Pintanya dengan nada putus asa.
Untuk beberapa saat aku hanya mampu menatap matanya. Entah berapa lama waktu yang kupunya untuk meringankan kepedihannya. Dan entah apa itu cukup baginya, bagi kami. Yang kutahu hanyalah aku mendekapnya sekali lagi, kali ini lebih erat dari sebelumnya. Rintik hujan kini berubah menjadi curah yang semakin deras, seolah ingin bertanding dengan air mata kami. Dengan lembut kudekatkan bibirku ke telinganya.
It’s me, Thara. I’m here.
***